Permainan bola kasti sering kita jumpai di kalangan anak-anak, tepatnya semasa kita bersekolah di SD, namun tidak untuk kali ini, dalam rangka perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia seluruh masyarakat Indonesia begitu antusias merayakan kemerdekaan dengan mengadakan beraneka ragam perlombaan seperti perlombaan yang diadakan di Kecamatan Nusa Penida. Mereka mengajak anak-anak dan ibu-ibu guru untuk bernostalgia kembali dengan permainan bola kasti.
Lomba bola kasti ini diadakan dalam rangka memeriahkan dan menyambut Hari Kemerdekaan RI yang dilaksanakan di Lapangan Umum Sampalan, pukul 16.00 Wita dari tanggal 10 – 14 Agustus yang mana diwakili oleh anak-anak SMA Negeri 1 Nusa Penida yang terdiri dari 2 regu, yaitu Regu A dan Regu B. SMPN 1 Nusa Penida, Ibu PKK Batununggul dan ibu-ibu guru perwakilan dari SMPN 1 Nusa Penida.
Hari pertama, perlombaan ini dilaksanakan pada tanggal 10 Agustus 2009 oleh anak-anak Regu A perwakilan SMAN 1 Nusa Penida dan anak-anak SMPN 2 Nusa Penida. Namun sungguh disayangkan, perwakilan dari SMPN 2 Nusa Penida tidak menghadiri perlombaan itu dan Regu A SMAN 1 Nusa Penida memenangkan perlombaan.
Hari kedua, berlangsungnya perlombaan ini sungguh sangat meriah. Sorak gemurai suporter dari perwakilan SMPN 1 Nusa Penida menggaduhkan seisi lapangan dan akhirnya mengalahkan Regu B perwakilan SMAN 1 Nusa Penida dengan nilai 5:0. Meskipun masih dirundung kekecewaan namun semangat anak-anak SMAN 1 Nusa Penida masih tetap berkobar.
Hari ketiga, perlombaan ini berlangsung pada tanggal 12 Agustus 2009. Regu A kembali bertanding dengan semangat 45-nya melawan ibu-ibu PKK Batununggul. Dan dengan semangat itu mereka akhirnya masuk ke babak final.
Hari keempat, yaitu tanggal 13 Agustus 2009, regu-regu yang telah kalah dalam pertandingan sebelumnya, kembali dipertemukan untuk merebut juara ketiga, dari perlombaan ini Regu SMAN 1 Nusa Penida bertanding kembali dengan ibu-ibu PKK Batununggul. Memang “dewa” kemenangan saat itu tampaknya tidak bersahabat dengan Regu B hingga akhirnya keunggulan 7 point yang diraihnya berhasil dilalui oleh ibu-ibu PKK hanya dengan waktu 2 menit, mereka berhasil memasukkan 9 angka dan menggeser Regu B dari juara tiga yang hampir diraihnya.
Ya, …… pertandingan yang sangat seru yang mampu membuat serak tenggorokan dan membuat tegang serta geregetan para penontonnya. Begitu banyak komentar yang dikumandangkan oleh mereka hingga akhirnya sampailah di babak final, yaitu tanggal 14 Agustus 2009, pukul 15.00 Wita peserta telah berada di lapangan suasana begitu menegangkan. Setelah satu jam 15 menit menunggu, permainan pun dimulai. Tak diduga ketika wasit telah membunyikan peluitnya.
Salah satu pemain dari perwakilan SMPN 1 Nusa Penida menyampaikan protesnya mengenai pemain dari SMAN 1 Nusa Penida yang tidak berkenan di hatinya. Empat pemain akhirnya diganti dengan 4 orang anak dari SMAN 1 Nusa Penida yang sebelumnya tidak disiapkan untuk itu. Dan dapat ditebak Regu A SMAN 1 Nusa Penida hanya dapat duduk di peringkat II saja.
Namun, bukan berarti kekecewaan yang harus muncul, mereka tetap bangga bisa ikut memeriahkan Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia.
Dan masih dengan semangat 45, merka mengucapkan MERDEKA…..
CoreTan anak NusPen
catatan kecil si gembel dari Nusa Penida
Blog terkini
Selasa, 03 Agustus 2010
Berlian Kotor Nusa Penida
Nusa Penida membutuhkan “tangan” yang positif. “tangan” yang mampu mengembangkan Nusa Penida kearah yang lebih baik. “Tangan” yang mampu memelihara warisan leluhur dan menjaga keelokannya.Warisan leluhur dan keelokan yang sangat terkenal itu adalah keelokan bahari.Apakah potensi bahari yang dimiliki oleh pulau ini?Apakah fungsi bahari tersebut?
Walaupun Nusa Penida merupakan pulau yang kecil,namun tidak kalah bersaing dengan pulau-pulau yang lain.Hal ini didukung oleh keunikan Nusa Penida seperti uniknya lautan.Keunikan ini dapat menghasilkan keuntungan tersendiri bagi masyarakatnya.Banyak sekali hasil yang bisa dipetik.
Dalam memenuhi kebutuhan akan lauk pauk,masyarakat bisa mencari dan mengambil berbagai jenis ikan dengan kemampuan laut yang dimiliki.Bahkan,kalau masyarakat tidak mampu menangkap ikan,masyarakat bisa membeli hasil tangkapan dari masyarakat Nusa Penida lainnya.Sehingga kita tidak perlu mendatangkan ikan dari pulau lain.inilah hasil pertama yang bisa dipetik.
Agar potensi laut dapat berkembang dan tidak hanya ikan yang dimamfaatkan,muncul inisiatif dari masyarakat Nusa Penida untuk menanam rumput laut.Rumput laut bisa dibuat menjadi agar-agar dan bahan yang lain.Setelah kering,rumput laut dikirim ke pulau yang lain yang mampu mengolahnya.Tentunya ini akan mendatangkan penghasilan yang lumayan besar.ini hasil kedua yang menopang kehidupan masyarakat Nusa Penida pada umumnya.
Potensi lain yang bisa dimamfaatkan adalah potensi estetika laut Nusa Penida.Banyak wisatawan asing maupun domestik berkunjung ke tempat ini yang melahirkan daerah pariwisata.Salah satunya adalah Pulau Lembongan.Wisatawan dan masyarakat bisa melihat pemandangan bawah laut yang menakjubkan seperti indahnya terumbu yang terhampar luas,ikan-ikan yang berkeliaran,serta keindahan lainnya.inilah hasil yang bisa dimamfaatkan oleh masyarakat Nusa Penida yang mampu mengembangkan pariwisata sehingga bisa menambah angka devisa.
Kemungkinan,akan muncul hasi-hasil yang menguntungkan,apabila dihasilkan suatu “ide” yang cemerlang dipadukan olahan “tangan” positif yang mengembangkan kelautan tanpa merusaknya.Namun,dizaman yang terus berubah,sikap individualismepun semakin berkembang yang menyebabkan munculnya tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab.hal ini bisa menyebabkan kerusakan bahari yang luar biasa.Contoh-contoh sikap individualisme yang ingin mendapatkan keuntungan dari laut tanpa memperhitungkan keadaan laut itu sendiri,seperti penangkapan ikan secara berlebihan,menggunakan sianida,menggunakan bom ikan,serta membuang jangkar perahu secara sembarangan dan yang tak kalah penting adalah pemanasan global serta pencemaran laut.hal ini menyebabkan ikan banyak yang mati,terumbu karang ikut hancur yang menyebabkan organisme laut kehilangan tempat tinggalnya serta laut yang dulunya indah akan mengalami kerusakan.
Solusi yang bisa digunakan untuk mengatasi hal tersebut yaitu memunculkan ide dan tangan positif,menumbuhkan kesadaran untuk lebih mencintai keindahan serta memunculkan sikap puji syukur kita kepada Tuhan dengan merawat ciptaannya,dan hindarilah penggunaan alat-alat yang dapat merusak bahari.
Senin, 02 Agustus 2010
Sisi Lain Makna Galungan
Manusia memang bersaing sejak dulu kala. Persaingan-persaingan diberbagai bidang mengarah pada nafsu untuk menjaga kepentingan sendiri tanpa peduli kepentingan pihak lain. Kecendrungan manusia modern pun, hampir sama bahkan tampak jelas mengarah kenaluri seperti itu. Pertunjukan seks bebas yang hampir tanpa batas tersaji didunia maya internet. Galungan dimaknai sebagai pembebasan jiwa dari belenggu adharma kali ini dihadapkan dengan realitas jiwa manusia modern yang memperlihatkan kecendurngan semakin kehilangan batas moralitas dan solidaritas sesama.
Peringatan galungan dan kuningan seharusnya kita maknai sebagai tonggak pencerahan, perbaikan moral, mental dan peningkatan spiritualitas menuju pencapaian kualitas hidup. Sehingga tampil hidup yang lebih didominasi refleksi simbol-simbol materialisme, hedonisme, dehumanisasi yang dipengaruhi oleh perkembangan zaman, akan terkoreksi oleh inti sari peringatan hari istimewa ini. Mengangkat kembali makna hakiki dari galungan ini kita harapkan akan dapat menipiskan rasa pesimisme akibat berbagai krisis belakangan ini terus-menerus menghampiri kehidupan masyarakat. Di sisi lain akan menebalkan keimanan dan ketaqwaan sebagai pegangan kuat menjalani berbagai cobaan. Berbagai bencana alam tak perbah surut, negeri ini pun dihantui berbagai bencana sosial. Kemanusiaan banyak hubungan sosial kemasyarakatan yang retak akibat berbagai perselisihan, kesenjangan perekonomian sosial, kriminalitas dan berbagai penyakit sosial muncul ke permukaan. Masyarakat yang belum mampu membebaskan diri dari keterbelakangan, kemiskinan dan kebodohan menjadi tersendat-sendat karena korupsi.
Masyarakat tengah mengalami kekeringan pemandu dan teladan dalam menyikapi keadaan yang sedang krisis keteladanan dan kepercayaan terhadap manusia lain. Karena tokoh-tokoh yang semula menjadi panutan banyak terbukti tersandung kejahatan, korupsi, dan penyalahgunaan wewenang. Kita membutuhkan sosok-sosok yang mampu menjadi panutan atau teladan. Sosok manusia yang mampu menyentuh hati masyarakat dengan segala aura positif yang dimilikinya. Maka selain itu perlu adanya pemumian kembali terhadap tafsir-tafsir agama sehingga mampu mengangkat derajat kehidupan manusia.
Dari ritual ke
Realitas sosial
Ritual perayaan galungan berbeda-beda antara desa pakraman yang satu dengan yang lain. Kita pun sebagai manusia banyak mempunyai perbedaan. Apa lagi penganut agama yang berbeda-beda maka ritualnya pun tidak sama. Meskipun penganut yang sama “Agama Hindu” ritual yang dilakukan berbeda sesuai dengan tradisi yang ditemurunkan oleh nenek moyangnya. Sebut saja di Desa Batumadeg Kec. Nusa Penida ritual-ritual yang dilakukan untuk menyambut galungan antara lain:
Perayaan Sugihan Jawa dan Sugihan Bali yang merupakan awal dari rangkaian galungan dan melakukan persembahyangan di pura paibon yang bermakna sebagai semangat untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat Batumadeg secara kuantitas dan kualitas.
Peningkatan taraf hidup masyarakat juga bisa dilakukan melalui pengendalian diri pada pemaknaan “Penyekeban” (tiga hari sebelum galungan). Dan biasanya masyarakat pada hari tersebut “nyekeb” buah-buahan.
Penyajaan galungan (dua hari sebelum galungan) dimaknai sebagai pematangan spiritual atau pematangan jiwa, sehingga sang jiwa dapat menghadapi segala godaan.
Penampahan Galungan (sehari sebelum galungan). Jika sang jiwa dapat menghadapi godaan, maka sang jiwa akan mencapai kemenangan (jinamurti). Pada hari penampahan galungan masyarakat berkumpul, memotong babi dan membaginya sama rata. Kebahagiaan akan menjadi tujuan kehidupan merupakan anugerah tuhan yang diejawantahkan dalam simbol upakara Tumpeng Galungan dan Penjor yang bermakna kemakmuran. Dengan kemakmuran orang akan mencapai kecermelengan pada saat galungan.
Galungan, pada hari raya ini biasanya umat hindu mempersembahkan bebantenan, bersembahyang di pura masing-masing dan pura umum. Setelah selesai bersembahyang, umat Hindu saling mengunjungi antar keluarga dan tetangga. Galungan bermakna sebagai kemenangan sejati dan semangat untuk membangun kehidupan dengan sebaik-baiknya.
Apakah manusia itu kera ???
TIDAK BENAR , MANUSIA
BEREVOLUSI DARI KERA
Ethiopia-
Satu tim ilmuwan internasional pecan lalu melaporkan bahwa kerangsa manusia purba yang hidup 4,4 juta tahun lalu memperlihatkan bahwa sebenarnya manusia tak berevolusi dari kera. Penyelidikan selama 17 tahun itu mengenai temuan kerangka yang sangat rapuh yang disebutnya sebagai “kera darat” yang kecil, yang ditemukan di wilayah Afar, Ethiopia.
Penemuan ini dibeberkan didalam jurnal Science terbintan pecan lalu. Jurnal itu juga berisi 11 berkas mengenai temuan tersebut. Fosil yang diberi nama panggilan Ardi itu adalah kerangka paling tua yang dikenal dari cabang manusia dari pohon keluarga primate. Cabang itu meliputi homosapiens serta spesies yang lebih dekat dengan manusia dibandingkan dengan kera dan bonobo.
Temuan itu member pengertian baru mengenai bagaimana hominid- keluarga “kera besar” yang terdiri atas manusia, simpanse, gorilla dan orang hutan- mungkin telah muncul dari satu nenek moyang monyet. Sampai ditemukannya Ardi, tahap paling awal yang di ketahui mengenai evolusi manusia adalah Australopithecus, “manusia kera” yang bertolak kecil dan sepenuhnya berkaki dua yang hidup antara 4 juta tahun lalu.
Fosil Australopithecus yang paling terkenal adalah Lucky yang berumur 3,2 juta tahun. Lucky ditemukan pada 1974 di tempat sekitar 45 mil daritempat Ardi belakangan ditemukan. Kerangka Ardi dan kerangka ardipitthecus ramidus yang berkaitan, lebih tua dan lebih primitif dibandingkan dengan Australopithecus. Setelah temuan Lucy, ada perkiraan bahwa ketika kerangka hominid terdahulu ditemukan, semua itu akan berkumpul jadi anatomi mirip simpanse, berdasarkan kesamaan genetika manusia dan ker. Namun fosil ardipitthecus ramidus tidak mendukung dugaan itu.
Kerangka Ardi cukup lengkap-tengkorak, gigi, tulang panggul, kaki, paha, lengan dan tangan – untuk memperkirakan tinggi dan berat tubuhnya, Ardi berjalan dengan dua kaki di tanah, tetaoi memanjat pohon dan juga memnghabiskan waktu mereka di sana, dan barangkali adalah pemangsa segala.
TEMUAN FOSIL ARDI
Kerangka paling tua yang dikenal dari cabang manusia dari pohon keluarga primata.
Penanda tahap paling awal yang diketahui mengenai evolusi manusia adalah Australopithecus, “ manusia kera” yang bertolak kecil dan sepenuhnya berkaki dua yang hidup antara 4 juta tahun lalu.
Kerangka cukup lengkap – tengkorak, gigi, tulang panggul, kaki, pahat, lengan dan tangan – untuk memperkirakan tinggi dan berat tubuhnya, berjalan dengan dua kaku di tanah, tetapi memanjat pohon dan juga menghabiskan waktu meraka disana, dan barangkali adalah pemangsa segala.
Tidak memiliki bagian tubuh seperti kera atau gorilla, tetapi lebih mirip dengan kera yang punah atau bahkan monyet, dan kedua tangannya juga tidak mirip tangan simpanse atau gorilla, tetapi berkaitan dengan kera yang punah sebelumnya.
Sesuatu yang mengejutkan ialah Ardi dan temannya tidak memiliki bagian bagian tubuh seperti kera atau gorilla, tetapi lebih mirip dengan kera yang punah atau bahkan monyet, dan kedua tangannya tidak mirip tangan simpanse atau gorilla, tetapi lebih berkaitan dengan kera yang punah sebelumnya. Banyak ilmuwan mengatakan temuan itu menunjukkan bahwa hominid dank era Afrika, masing-masing memiliki jalur evolusi yang berbeda. “Kita tak lagi dapat menganggap kera sebagai ‘wali’ bagi nenek moyang terakhir bersama kita,” ujar para ilmuwan.
Temuan Charles Darwin sangat bijaksana mengenai masalah ini, papar Tim White dari University of California Berkeley yang membantu memimpin tim penelitian tersebut. “Darwin mengatakan kita harus berhati-hati. Satu-satunya cara kita akan mengetahui seperti apa nenek moyang terakhir bersama ini dan menemukannya. Ya, pada 4,4 juta tahun lalu, kita menemukan sesuatu yang sangat dekat dengan itu,” kata White.
Penjor Dan Canang Dalam Galungan
Penjor Dan Canang Dalam Galungan
Hari raya galungan jatuh pada Buda Kliwon Dungulan. Hari suci ini diperingati setiap enam bulan atau 210 hari, disambut meriah umat hindu (Bali/Indonesia). Hari suci galungan mempunyai makna/arti terciptanya alam semesta berserta isinya dan kemenangan Dharma melawan Adharma.
Sehari sebelum galungan disebut penampahan. Biasanya umat hindu menyembelih binatang dengan tujuan agar dapat mengikis sifat-sifat Rajas, Tamah, dan sebagai simbul mengendalikan musuh yang disebut dengan sangkala tiga, Sangkala Dungulan, Sangkala Galungan dan Sangkala Amungkurat. Selain itu pada hari yang sama dilakukan pemasangan penjor di setiap pintu gerbang rumah yang merupakan rasa puji syukur kita kepada tuhan dalam manifestasinya Dewa Mahadewa yang berstana di gunung agung atas rahmatnya telah memberikan kehidupan kepada kita dan penjor itu sendiri melambangkan Naga Ananta Boga
Selain penjor, canang juga merupakan elemen penting saat galungan. Kata canang berasal dari bahasa Jawa Kuno. Pada mulanya berarti sirih yang disuguhkan kepada tamu kehormatan pada zaman dulu. Seperti yang di lontarkan dalam kekawin Niti Sastra “Masepi tikang waktra tan amucang wang” yang artinya sepi rasanya bila mulut kita tidak makan sirih. Jadi sirih merupakan sarana yang memiliki suatu nilai yang tinggi. Sirih merupakan unsur pokok pada porosan sedangkan porosan merupakan unsur terpenting dari sebuah canang. Sehingga jika canang tanpa di lengkapi dengan porosan maka canang itu tidak bernilai keagamaan.
Jika kita membuat canang yang paling bawah yaitu ceper diatasnya daun. Diatas daun di tata dengan porosan, tebu, pisang, nasi dan jajan, dan diatas uras sari di tata dengan Bunga dan Rampai.
Adapun unsur-unsur dari canang yaitu sebagai berikut :
1. Ceper
Ceper adalah alas dari sebuah canang yang berbentuk segi Empat(4) selain itu ada juga alas canang yang berbentuk lingkaran yang melambangkan bumi.
2. Porosan
Porosan merupakan unsur utama dalam canang. Porosan terbuat dari sirih kapur dan buah di bungkus dengan potongan janur. Porosan melambangkan pemujaan keadaan manisfestasinya Tri Murti.
3. Plawa
Plawa juga disebut daun – daunan yang berfungsi untuk menumbuhkan suasana yang damai.
4. Bunga
Bunga Merupakan lambang keiklasan dan kecintaan kita terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
5. Tetuasan
Tetuasan merupakan lambang kekuatan iman agar tidak tergoyahkan oleh pikiran – pikiran buruk.
6. Uras Sari
Uras Sari merupakan unsur pelengkap canang untuk dipersembahkan umat hindu kepada Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Maka dari pada itu seluruh umat hindu merayakan hari raya Galungan setiap 210 hari dengan mempersembahkan canang,
.
Ritual Nyepi Tiang Kekukuhan Bangsa
Ritual Nyepi, Inspirasi Mengenal Jatidiri Bangsa
Jakarta (ANTARA News) - Seorang bocah, ketika bermain di sebuah halaman dengan teman-temannya, bertanya kepada salah satu rekannya. Katanya, kenapa sih tahun baru agama Hindu justru di Bali jadi sepi.
Para pemeluk Agama Hindu di Jakarta juga tak banyak melakukan aktivitas. Padahal, Tahun baru, di berbagai tempat, biasanya disambut gembira dengan pesta. Bahkan ada yang dirayakan dengan kembang api.
Pertanyaan bocah itu masih berlanjut. Katanya, sekarang sulit mau liburan ke Bali. Bandara di Bali tutup. Pelabuhan penyebrangan juga tak ada kegiatan. Kenapa, sih?
Sederet pertanyaan dari bocah bersangkutan masih berhamburan, yang dijawab rekan yang masih sebaya dengan santai dan singkat, "ngak tahu, tuh".
Pertanyaan serupa terus diulangi sang bocah yang ingin memenuhi rasa ingin tehu kepada rekan-rekan lainnya. Jawaban yang diperoleh serupa saja, tidak tahu.
Sesungguhnya, pertanyaan seperti ini bukan hanya muncul di kalangan anak-anak dan para remaja. Di kalangan orangtua pun di sejumlah kota besar kerap mengemuka. Terutama menjelang dan pada saat perayaan Nyepi berlangsung.
Ini terjadi lantaran ketidaktahuan banyak orang dan, mungkin juga, tak mau tahu akan perayaan tahun baru bagi agama Hindu yang dikenal sebagai Hari Raya Nyepi itu.
Mengenal hari Raya Nyepi, dalam konteks Bhinneka Tunggal Ika, perlu. Meski tak perlu terlalu dalam, tetapi tahu bahwa Nyepi merupakan hari besar Umat Hindu saja sudah cukup. Pemahaman ini tak terbatas bagi satu agama semata, tetapi umat agama lain pun perlu memahami sehingga penghayatan kehidupan dalam suasana toleransi makin kokoh di negeri ini.
Jadi, sungguh wajar jika seorang bocah bertanya kepada rekannya seperti itu. Terlebih lingkungan bocah bersangkutan berada di kota besar seperti Jakarta.
Dirjen Bimas Hindu, Prof. Dr. IB Yudha Triguna, mengatakan bahwa Umat Hindu justru di Tahun Baru Saka yang jatuh pada “Penanggal Ping Pisan Sasih Kadasa” - menurut sistem kalender Hindu Nusantara - merayakannya dengan sepi.
Layaknya menjawab pertanyaan bocah asal Jakarta itu, lantas Tri Guna menjelaskan, sepi yang kemudian dimaknai sebagai “Nyepi” mempunyai artinya membuat suasana sepi, tanpa kegiatan (amati karya), tanpa menyalakan api (amati geni), tanpa melakukan perjalanan keluar rumah (amati lelungaan) dan tanpa hiburan (amati lelanguan) yang dikenal dengan istilah “Catur berata penyepian”.
Di hari itu umat Hindu melakukan tapa, berata, yoga, samadhi untuk menyimpulkan serta menilai pribadi-pribadi dimasa lampau dan merencanakan hari depan lebih baik. Di hari itu dilakukan evaluasi diri, seberapa jauhkah tingkat pendakian rohani yang dicapainya, dan sudahkah mengerti pada hakekat tujuan kehidupan di dunia ini.
Dengan amati karya, menurut dia, umat Hindu mempunyai waktu yang cukup untuk melakukan tapa, berata, yoga, dan samadhi; dalam suasana amati gni, pikiran akan lebih tercurah pada telusuran kebathinan yang tinggi; pembatasan gerak bepergian keluar rumah berupa amati lelungaan akan mengurung diri sendiri di suatu tempat tertentu untuk melakukan tapa, berata, yoga, samadhi.
Tempat itu bisa di rumah, di Pura atau di tempat suci lainnya. Tentu saja dalam prosesi itu umat Hindu wajib menghindarkan diri dari segala bentuk hiburan yang menyenangkan yang dinikmati melalui panca indria.
Kemampuan mengendalikan Panca Indria adalah dasar utama dalam mengendalikan Kayika, Wacika dan Manacika sehingga jika sudah terbiasa maka akan memudahkan pelaksanaan Tapa Yadnya.
Walaupun tidak dengan tegas dinyatakan, pada Hari Nyepi seharusnya berpuasa menurut kemampuan masing-masing.
Jenis-jenis puasa antara lain : tidak makan dan minum selama 24 jam, atau siang hari saja, atau bentuk puasa yang ringan yaitu hanya memakan nasi putih dengan air kelapa gading yang muda.
Setelah Nyepi, diharapkan umat Hindu memiliki nilai tertentu dalam evaluasi kiprah masa lalu dan rencana bentuk kehidupan selanjutnya yang mengacu pada kekurangan-kekurangan nilai dan meningkatkan kuwalitas beragama.
Demikianlah tahun demi tahun berlalu sehingga semakin lama umat Hindu mengerti hakekat kehidupan di dunia, yang pada gilirannya membentuk pribadi yang dharma, yaitu jalan kehidupan yang berlandaskan kebenaran dan menjauhkan hal-hal yang bersifat dharma.
Hari Raya Nyepi dan hari-hari Raya umat Hindu lainnya merupakan tonggak-tonggak peringatan penyadaran Dharma. Oleh karena itu kegiatan dalam menyambut datangnya hari raya itu semestinya tidak pada segi hura-hura dan kemeriahannya.
Seandainya mayoritas umat Hindu Nusantara menyadari hal ini, pastilah masyarakat yang Satyam (taat beragama), Siwam (kasih sayang), Sundaram (sejahtera materiil dan immateriil) akan dapat tercapai dengan mudah.
Satyam, Siwam, Sundaram adalah unsur-unsur yang sangat menentukan upaya manusia mencapai Moksartham Jagadhita (kebahagiaan lahir/bathin).
Hakekat kehidupan manusia di Bumi adalah menggunakan sebaik-baiknya kesempatan hidup yang singkat ini.
Kelola kemajemukan
Masyarakat Indonesia majemuk, yang terdiri atas berbagai agama, suku, bahasa, dan identitas etnik yang berbeda. Negara melindungi keberadaan agama dan menjamin kemerdekaan beragama sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Namun demikian, mengelola kemajemukan bukan persoalan yang mudah. Di satu sisi, setiap umat beragama sebagai komponen bangsa berkepentingan untuk memelihara asas keyakinan, indentitas dan memperjuangkan aspirasi keagamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di sisi lain, setiap golongan umat beragama juga dituntut untuk memberi andil dalam rangka memelihara kerukunan dan keutuhan bangsa.
Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara, adalah sekaligus sebagai "titik temu" untuk semua golongan umat beragama, kecuali mereka yang atheis, atau tidak mempercayai adanya Tuhan dan menolak eksistensi agama sebagai sendi spiritual bagi kehidupan manusia.
Masyarakat Indonesia dapat menjadi manusia yang taat beragama sekaligus warga negara yang aktif menjaga kerukunan beragama dan keutuhan bangsa.
Sebaliknya, untuk menjadi warga negara yang peduli pada kerukunan beragama dan keutuhan bangsa, tidak berarti murtad dari agama yang dianut.
Setiap umat beragama di tanah air mempunyai tanggung jawab bersama untuk memelihara nilai luhur kemanusiaan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemahaman dan penghayatan ajaran agama memiliki peranan yang amat penting untuk menumbuhkan dan memelihara nilai luhur kemanusiaan serta meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin.
Bangsa Indonesia patut bersyukur dalam beberapa tahun terakhir tak ada konflik keagamaan di negara kita, kecuali hanya kasus-kasus kecil yang dapat segera ditangani.
Kondisi yang positif tersebut perlu dipelihara, antara lain dengan meminimalkan dan menghilangkan sebabsebab terjadinya benturan dan konflik di masa-masa mendatang.
Untuk itu turut memperkuat pembinaan moralitas kemanusiaan, dan memperkuat kerukunan di dalam masyarakat perlu dilakukan secara berkesinambungan. Hal itu bisa dimulai dari lingkungan terkecil, yakni keluarga, selanjutnya sekolah, dan lingkungan masyarakat yang lebih luas.
Ketaatan
Prof. Dr. IB Yudha Triguna mengatakan pada dasarnya agama tidak sekadar hafalan, tetapi agama mesti dilihat sebagai sebuah ideologi sehingga umat mampu berdisiplin dan berbudi luhur.
Disiplin tidak hanya berarti tepat waktu (on time). Disiplin itu mengandung pengertian bahwa umat bersungguh-sungguh melaksanakan perintah Tuhan dan menghindari larangan-larangan-Nya. Itu berarti yang dipentingkan bukan seberapa luas pengetahuan agama yang dimiliki, tetapi seberapa taat umat mampu menjalani perintah agama.
Karena itu, dalam konteks mewujudkan perdamaian, umat mesti mampu melaksanakan brata atau pengendalian diri. Dengan memiliki benteng pengendalian diri yang kuat, umat akan mampu mengalahkan musuh-musuh yang ada pada dirinya. Godaan-godaan yang datang pun dengan mudah dapat ditaklukkan. Konsep pengendalian diri seperti itu sudah dituangkan dalam perayaan hari besar keagamaan Hindu yang dikenal dengan Nyepi.
Dalam merayakan Nyepi, umat diajarkan untuk mengendalikan diri lewat brata penyepian -- amati geni, amati karya, amati lelungan dan amati lelanguan. Dengan mampu mengendalikan diri diharapkan tercipta kedamaian.
"Umat jangan sampai selalu berharap orang lain yang menaati dan menyucikan hari-hari yang dianggap penting seperti Nyepi, sementara dirinya sendiri tidak pernah berusaha menjalankan perintah Tuhan dan mengurangi ketergantungan terhadap hal-hal yang berbau duniawi. Oleh karena itu, pada momen hari raya yang baik ini umat mesti berusaha menjalankan perintah-Nya," ujarnya.
Dalam konteks kerukunan umat beragama di tanah air, dewasa ini banyak mengalami kemajuan. Kesadaran umat dan keterlibatan aktif berbagai instansi pemerintah dalam memfasilitasi dan mendorong dialog-dialog dan kerjasama antar umat beragama telah dimulai sejak 1967 hingga sekarang.
Pemberdayaan masyarakat, kelompok-kelompok agama, serta pemuka agama untuk memelihara kerukunan umat beragama, memang, terus menerus harus didorong agar mampu menyelesaikan sendiri masalah yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama. Tentu, Kementerian Agama, telah memberikan rambu-rambu dalam pengelolaan kerukunan umat beragama.
Dengan demikian, momentum perayaan nyepi dapat dijadikan sebagai inspirasi mengenal jatidiri bangsa. Memperkenalkan nyepi kepada lapisan masyarakat dalam masyarakat majemuk, sangatlah penting. Ke depan, jika ada pertanyaan tahun baru tanpa pesta, orang banyak pasti akan tahu bahwa peristiwa itu adalah sebuah ritual yang dilangsungkan umat Hindu.
Jakarta (ANTARA News) - Seorang bocah, ketika bermain di sebuah halaman dengan teman-temannya, bertanya kepada salah satu rekannya. Katanya, kenapa sih tahun baru agama Hindu justru di Bali jadi sepi.
Para pemeluk Agama Hindu di Jakarta juga tak banyak melakukan aktivitas. Padahal, Tahun baru, di berbagai tempat, biasanya disambut gembira dengan pesta. Bahkan ada yang dirayakan dengan kembang api.
Pertanyaan bocah itu masih berlanjut. Katanya, sekarang sulit mau liburan ke Bali. Bandara di Bali tutup. Pelabuhan penyebrangan juga tak ada kegiatan. Kenapa, sih?
Sederet pertanyaan dari bocah bersangkutan masih berhamburan, yang dijawab rekan yang masih sebaya dengan santai dan singkat, "ngak tahu, tuh".
Pertanyaan serupa terus diulangi sang bocah yang ingin memenuhi rasa ingin tehu kepada rekan-rekan lainnya. Jawaban yang diperoleh serupa saja, tidak tahu.
Sesungguhnya, pertanyaan seperti ini bukan hanya muncul di kalangan anak-anak dan para remaja. Di kalangan orangtua pun di sejumlah kota besar kerap mengemuka. Terutama menjelang dan pada saat perayaan Nyepi berlangsung.
Ini terjadi lantaran ketidaktahuan banyak orang dan, mungkin juga, tak mau tahu akan perayaan tahun baru bagi agama Hindu yang dikenal sebagai Hari Raya Nyepi itu.
Mengenal hari Raya Nyepi, dalam konteks Bhinneka Tunggal Ika, perlu. Meski tak perlu terlalu dalam, tetapi tahu bahwa Nyepi merupakan hari besar Umat Hindu saja sudah cukup. Pemahaman ini tak terbatas bagi satu agama semata, tetapi umat agama lain pun perlu memahami sehingga penghayatan kehidupan dalam suasana toleransi makin kokoh di negeri ini.
Jadi, sungguh wajar jika seorang bocah bertanya kepada rekannya seperti itu. Terlebih lingkungan bocah bersangkutan berada di kota besar seperti Jakarta.
Dirjen Bimas Hindu, Prof. Dr. IB Yudha Triguna, mengatakan bahwa Umat Hindu justru di Tahun Baru Saka yang jatuh pada “Penanggal Ping Pisan Sasih Kadasa” - menurut sistem kalender Hindu Nusantara - merayakannya dengan sepi.
Layaknya menjawab pertanyaan bocah asal Jakarta itu, lantas Tri Guna menjelaskan, sepi yang kemudian dimaknai sebagai “Nyepi” mempunyai artinya membuat suasana sepi, tanpa kegiatan (amati karya), tanpa menyalakan api (amati geni), tanpa melakukan perjalanan keluar rumah (amati lelungaan) dan tanpa hiburan (amati lelanguan) yang dikenal dengan istilah “Catur berata penyepian”.
Di hari itu umat Hindu melakukan tapa, berata, yoga, samadhi untuk menyimpulkan serta menilai pribadi-pribadi dimasa lampau dan merencanakan hari depan lebih baik. Di hari itu dilakukan evaluasi diri, seberapa jauhkah tingkat pendakian rohani yang dicapainya, dan sudahkah mengerti pada hakekat tujuan kehidupan di dunia ini.
Dengan amati karya, menurut dia, umat Hindu mempunyai waktu yang cukup untuk melakukan tapa, berata, yoga, dan samadhi; dalam suasana amati gni, pikiran akan lebih tercurah pada telusuran kebathinan yang tinggi; pembatasan gerak bepergian keluar rumah berupa amati lelungaan akan mengurung diri sendiri di suatu tempat tertentu untuk melakukan tapa, berata, yoga, samadhi.
Tempat itu bisa di rumah, di Pura atau di tempat suci lainnya. Tentu saja dalam prosesi itu umat Hindu wajib menghindarkan diri dari segala bentuk hiburan yang menyenangkan yang dinikmati melalui panca indria.
Kemampuan mengendalikan Panca Indria adalah dasar utama dalam mengendalikan Kayika, Wacika dan Manacika sehingga jika sudah terbiasa maka akan memudahkan pelaksanaan Tapa Yadnya.
Walaupun tidak dengan tegas dinyatakan, pada Hari Nyepi seharusnya berpuasa menurut kemampuan masing-masing.
Jenis-jenis puasa antara lain : tidak makan dan minum selama 24 jam, atau siang hari saja, atau bentuk puasa yang ringan yaitu hanya memakan nasi putih dengan air kelapa gading yang muda.
Setelah Nyepi, diharapkan umat Hindu memiliki nilai tertentu dalam evaluasi kiprah masa lalu dan rencana bentuk kehidupan selanjutnya yang mengacu pada kekurangan-kekurangan nilai dan meningkatkan kuwalitas beragama.
Demikianlah tahun demi tahun berlalu sehingga semakin lama umat Hindu mengerti hakekat kehidupan di dunia, yang pada gilirannya membentuk pribadi yang dharma, yaitu jalan kehidupan yang berlandaskan kebenaran dan menjauhkan hal-hal yang bersifat dharma.
Hari Raya Nyepi dan hari-hari Raya umat Hindu lainnya merupakan tonggak-tonggak peringatan penyadaran Dharma. Oleh karena itu kegiatan dalam menyambut datangnya hari raya itu semestinya tidak pada segi hura-hura dan kemeriahannya.
Seandainya mayoritas umat Hindu Nusantara menyadari hal ini, pastilah masyarakat yang Satyam (taat beragama), Siwam (kasih sayang), Sundaram (sejahtera materiil dan immateriil) akan dapat tercapai dengan mudah.
Satyam, Siwam, Sundaram adalah unsur-unsur yang sangat menentukan upaya manusia mencapai Moksartham Jagadhita (kebahagiaan lahir/bathin).
Hakekat kehidupan manusia di Bumi adalah menggunakan sebaik-baiknya kesempatan hidup yang singkat ini.
Kelola kemajemukan
Masyarakat Indonesia majemuk, yang terdiri atas berbagai agama, suku, bahasa, dan identitas etnik yang berbeda. Negara melindungi keberadaan agama dan menjamin kemerdekaan beragama sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Namun demikian, mengelola kemajemukan bukan persoalan yang mudah. Di satu sisi, setiap umat beragama sebagai komponen bangsa berkepentingan untuk memelihara asas keyakinan, indentitas dan memperjuangkan aspirasi keagamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di sisi lain, setiap golongan umat beragama juga dituntut untuk memberi andil dalam rangka memelihara kerukunan dan keutuhan bangsa.
Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara, adalah sekaligus sebagai "titik temu" untuk semua golongan umat beragama, kecuali mereka yang atheis, atau tidak mempercayai adanya Tuhan dan menolak eksistensi agama sebagai sendi spiritual bagi kehidupan manusia.
Masyarakat Indonesia dapat menjadi manusia yang taat beragama sekaligus warga negara yang aktif menjaga kerukunan beragama dan keutuhan bangsa.
Sebaliknya, untuk menjadi warga negara yang peduli pada kerukunan beragama dan keutuhan bangsa, tidak berarti murtad dari agama yang dianut.
Setiap umat beragama di tanah air mempunyai tanggung jawab bersama untuk memelihara nilai luhur kemanusiaan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemahaman dan penghayatan ajaran agama memiliki peranan yang amat penting untuk menumbuhkan dan memelihara nilai luhur kemanusiaan serta meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin.
Bangsa Indonesia patut bersyukur dalam beberapa tahun terakhir tak ada konflik keagamaan di negara kita, kecuali hanya kasus-kasus kecil yang dapat segera ditangani.
Kondisi yang positif tersebut perlu dipelihara, antara lain dengan meminimalkan dan menghilangkan sebabsebab terjadinya benturan dan konflik di masa-masa mendatang.
Untuk itu turut memperkuat pembinaan moralitas kemanusiaan, dan memperkuat kerukunan di dalam masyarakat perlu dilakukan secara berkesinambungan. Hal itu bisa dimulai dari lingkungan terkecil, yakni keluarga, selanjutnya sekolah, dan lingkungan masyarakat yang lebih luas.
Ketaatan
Prof. Dr. IB Yudha Triguna mengatakan pada dasarnya agama tidak sekadar hafalan, tetapi agama mesti dilihat sebagai sebuah ideologi sehingga umat mampu berdisiplin dan berbudi luhur.
Disiplin tidak hanya berarti tepat waktu (on time). Disiplin itu mengandung pengertian bahwa umat bersungguh-sungguh melaksanakan perintah Tuhan dan menghindari larangan-larangan-Nya. Itu berarti yang dipentingkan bukan seberapa luas pengetahuan agama yang dimiliki, tetapi seberapa taat umat mampu menjalani perintah agama.
Karena itu, dalam konteks mewujudkan perdamaian, umat mesti mampu melaksanakan brata atau pengendalian diri. Dengan memiliki benteng pengendalian diri yang kuat, umat akan mampu mengalahkan musuh-musuh yang ada pada dirinya. Godaan-godaan yang datang pun dengan mudah dapat ditaklukkan. Konsep pengendalian diri seperti itu sudah dituangkan dalam perayaan hari besar keagamaan Hindu yang dikenal dengan Nyepi.
Dalam merayakan Nyepi, umat diajarkan untuk mengendalikan diri lewat brata penyepian -- amati geni, amati karya, amati lelungan dan amati lelanguan. Dengan mampu mengendalikan diri diharapkan tercipta kedamaian.
"Umat jangan sampai selalu berharap orang lain yang menaati dan menyucikan hari-hari yang dianggap penting seperti Nyepi, sementara dirinya sendiri tidak pernah berusaha menjalankan perintah Tuhan dan mengurangi ketergantungan terhadap hal-hal yang berbau duniawi. Oleh karena itu, pada momen hari raya yang baik ini umat mesti berusaha menjalankan perintah-Nya," ujarnya.
Dalam konteks kerukunan umat beragama di tanah air, dewasa ini banyak mengalami kemajuan. Kesadaran umat dan keterlibatan aktif berbagai instansi pemerintah dalam memfasilitasi dan mendorong dialog-dialog dan kerjasama antar umat beragama telah dimulai sejak 1967 hingga sekarang.
Pemberdayaan masyarakat, kelompok-kelompok agama, serta pemuka agama untuk memelihara kerukunan umat beragama, memang, terus menerus harus didorong agar mampu menyelesaikan sendiri masalah yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama. Tentu, Kementerian Agama, telah memberikan rambu-rambu dalam pengelolaan kerukunan umat beragama.
Dengan demikian, momentum perayaan nyepi dapat dijadikan sebagai inspirasi mengenal jatidiri bangsa. Memperkenalkan nyepi kepada lapisan masyarakat dalam masyarakat majemuk, sangatlah penting. Ke depan, jika ada pertanyaan tahun baru tanpa pesta, orang banyak pasti akan tahu bahwa peristiwa itu adalah sebuah ritual yang dilangsungkan umat Hindu.
Langganan:
Postingan (Atom)